Terdapat ikhtilaf di kalangan ulama dalam hal hukum berpuasa sunnah (tathawwu’)
pada pertengahan akhir dari bulan Sya’ban. Ada tiga pendapat. Jumhur
ulama membolehkan. Namun ada yang memakruhkan, seperti Imam Ar-Rauyani
dari ulama Syafi’iyah; dan ada pula ulama yang mengharamkan, seperti
pendapat banyak ulama Syafi’iyah (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/249; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/583; Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 889).
Menurut pentarjihan kami, wallahu a’lam,
berpuasa sunnah pada pertengahan akhir Sya’ban hukumnya adalah haram,
kecuali jika seseorang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah sebelumnya.
Inilah pendapat para ulama Syafi’iyah, seperti Imam Syirazi sebagaimana
dalam kitabnya Al-Muhadzdzab Juz I hal. 189.
Dalil keharamannya adalah sabda Nabi SAW : “Jika bulan Sya’ban telah sampai pertengahan, maka janganlah kamu berpuasa hingga datang Ramadhan!” (idzaa [i]ntashofa Sya’baanu falaa tashuumuu hattaa yakuuna ramadhaanu).
(HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dari Abu
Hurairah RA). Hadits ini shahih menurut Ibnu Hibban, dan hasan menurut
Imam Suyuthi. (Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Hadits
Abu Hurairah itulah yang menjadi dalil keharaman menurut para ulama
mazhab Syafi’i. Meski demikian, ada ulama yang menganggap hadits itu
lemah (dhaif), seperti Imam Ahmad, rahimahullah,
sehingga berpuasa sunnah pada pertengahan akhir Sya’ban tidaklah haram
menurut beliau. Karena menurut Imam Ahmad pada hadits itu ada perawi
yang lemah, yaitu al-‘Ala` bin Abdurrahman. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata,”Sesungguhnya hadits itu munkar.” (innahu munkar). (1) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 889).
Akan
tetapi, kami lebih condong kepada pendapat ulama yang menghasankan
hadits tersebut. Imam Shan’ani berkata,”Dan dia [Al-‘Ala` bin
Abdurrahman] termasuk perawi-perawi hadits Imam Muslim.” (wa huwa min rijaal muslim). Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya At-Taqrib,”Sesungguhnya
dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] adalah orang yang jujur meski
kadang-kadang berbuat waham (mempunyai persangkaan yang lemah).” (innahu shaduuq wa rubbamaa wahama). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171). Maka dari itu, hadits di atas dalam pentarjihan kami adalah hadits hasan, yang dapat dijadikan hujjah (yuhtajju bihi). Imam Suyuthi menghasankan hadits tersebut (Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Dengan
demikian jelaslah, bahwa dengan dalil hadits tersebut, berpuasa sunnah
setelah pertengahan Sya’ban hukumnya adalah haram. Kecuali jika
seseorang sudah terbiasa berpuasa sunnah sebelumnya maka hukumnya tidak
haram. Imam Shan’ani berkata,”Hadits di atas adalah dalil larangan
berpuasa setelah pertengahan Sya’ban. Akan tetapi larangan itu muqayyad (ada dalil lain yang mengecualikannya) yaitu hadits Nabi,”kecuali bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dilakukannya” (illa an yuwaafiqa shauman mu’taadan). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sebelum kami akhiri, kami tambahkan satu penjelasan untuk menambah faidah. Yaitu diskusi (munaqasyah)
mengenai pendapat ulama yang membolehkan puasa sunnah setelah
pertengahan Sya’ban. Mereka berdalil antara lain dengan hadits dari Ummu
Salamah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah berpuasa satu bulan penuh dalam
setahun kecuali pada bulan Sya’ban yang bersambung pada bulan Ramadhan (anna
an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama lam yakun yashuumu min
as-sanati syahran taamman illaa sya’baana yashilu bihi ramadhaana) (HR. Khamsah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 879; hadits no.1722).
Kami tidak sepakat dengan pendapat yang membolehkan itu, karena hadits Ummu Salamah ini bertentangan (taa’rudh) dengan hadits Abu Hurairah di atas. Padahal dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadits fi’li (perbuatan Nabi). Hadits Abu Hurairah sebagai hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadits Ummu Salamah yang merupakan hadits fi’li (perbuatan Nabi). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sejalan dengan itu, menurut kami, pertentangan (taa’rudh) kedua hadits di atas hakikatnya hanyalah pada lahiriahnya saja. Artinya, masih dimungkinkan melakukan kompromi (jama’) di antara kedua hadits tersebut. Jika bertentangan hadits qauli dengan hadits fi’li
pada suatu perbuatan, dalam keadaan tidak diketahui mana dari keduanya
yang lebih dulu, maka menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahullah, berarti bahwa hadits qauli itu berlaku untuk umat Islam, sedang hadits fi’li berarti merupakan hukum khusus (khususiyat) bagi Nabi SAW (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), pada Bab At-Ta’arudh Bayna Fi’lin An-Nabiy wa Qaulihi, hal. 107-110).
Dengan
demikian, kedua hadits tersebut dapat dijama’ dengan menghasilkan satu
pemahaman, bahwa kebolehan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban adalah
merupakan khususiyah Nabi, sedangkan bagi umat Islam, hukumnya adalah haram. Inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut kami.
Wallahu a’lam...
Yogyakarta, 30 Agustus 2007
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Sumber:
FUSI FKIP UNPAR